Memutus 'Mata Rantai' Kekerasan dalam Rumah Tangga



Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh orangtua kepada anak, atau kekerasan oleh suami kepada istri dan/atau anak, kekerasan oleh istri (ibu) kepada anak, atau kekerasan yang dilakukan antaranggota keluarga seringkali masih dianggap wajar di kalangan masyarakat kita. Padahal dampaknya sangatlah fatal yang bisa dirasakan oleh masing-masing anggota keluarga yang mengalami kekerasan.

Berikut ini adalah bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga:

1. Kekerasan Fisik: kekerasaan pada bagian fisik/badan berupa pemukulan, tendangan, pelemparan benda tertentu ke badan korban, menikam/membunuh dengan menggunakan benda tajam atau lainnya, dsb.
2. Kekerasan Verbal: kekerasan dengan menggunakan kata-kata kasar, makian, ancaman yang menyakitkan, kata-kata yang mengandung unsur kekerasan, dsb.
3. Kekerasan Mental/Psikologis: kekerasan yang berdampak pada mental, seperti adanya perasaan ketakutan, penolakan/perasaan tidak diterima, tidak diakui, tidak disayangi, tidak dicintai, trauma-trauma yang tidak terselesaikan, pengabaian pada anak, dsb.
4. Kekerasan Seksual: kekerasaan yang berhubungan dengan organ seks, seperti diperkosa, disodomi, kata-kata vulgar yang bermaksud untuk ‘merendahkan’, ‘perkosaan’ terhadap istri/pasangan, paksaan melakukan hubungan seks, dll.
5. Kekerasan Ekonomi/Finansial: penelantaran hidup karena tidak adanya nafkah hidup/tidak dinafkahi, penyiksaan/pemaksaan ekonomi pada pihak yang lemah, dsb.
6. Kekerasan di Tempat Kerja yang dialami oleh anggota keluarga yang bekerja, dsb.
7. Eksploitasi yaitu bentuk manipulasi atau dapat dikatakan sebagai bentuk pemaksaan dengan tidak memperdulikan perkembangan anak. Banyak contoh eksploitasi pada anak yaitu dengan memberikan tanggung jawab yang berlebihan pada anak yang melebihi dari usia dan kemampuannya.
8. Memberikan pengaruh buruk kepada anak/anggota keluarga lain yaitu dengan memperlihatkan hal-hal yang bersikap negatif di depan anak secara langsung. Berikut ini beberapa contoh sikap yang memberikan pengaruh buruk untuk anak, misalnya memuji anak yang melakukan tindakan tidak terpuji kepada orang lain, mengajarkan anak untuk rasis, mendorong anak bersikap kasar pada orang lain, bahkan memberikan narkoba maupun obat-obatan terlarang pada anak/anggota keluarga lainnya.
9. Sikap Acuh (orangtua kepada anak): sikap seperti ini biasanya dikarenakan orangtua yang sedang memiliki masalah dalam pemenuhan emosi yang membuat dirinya tidak mampu untuk merespons kebutuhan emosi sang anak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketidaktertarikan pada anak, menahan kasih sayang, bahkan mengalami kegagalan dalam mengenali kehadiran sang anak. Sehingga nantinya akan memberikan pengaruh yang negatif dalam tumbuh kembang anak. Ada beberapa contoh perilaku pengabaian semisal, tidak menunjukkan perhatian saat momen penting anak, tidak peduli pada kegiatan anak, tidak merespons perilaku spontan anak saat di lingkungan sosial, tidak memberikan perawatan kesehatan saat dibutuhkan, tidak masuk ke dalam keseharian anak, dan lain sebagainya.
10. Dll.

Bagaimana memutus ‘mata rantai’ kekerasan dalam rumah tangga ini? Meski tidak selalu bisa menyelesaikan masalah ini sekaligus, namun di tataran awal hendaknya ada kesadaran bahwa kekerasan dalam bentuk apapun adalah perbuatan buruk dan sepantasnya segera dihapuskan. Jika musyawarah dalam rumah tangga/keluarga untuk membangun kesadaran ini belum juga bisa terwujud, maka sudah selayaknya tindakan kekerasaan yang dilakukan oleh satu atau beberapa anggota keluarga dilaporkan kepada yang berwajib, seperti melaporkannya kepada polisi, atau lembaga-lembaga di masyarakat yang menangani masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga agar setiap anggota keluarga terjamin hak-haknya untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan sepenuhnya.

Untuk bahan renungan, biasanya kekerasan yang dilakukan oleh satu atau lebih anggota keluarga adalah ‘mata rantai’ yang dibawanya dari keluarga asalnya atau dari ‘didikan’ atau contoh yang diterimanya/dialaminya dari keluarganya dahulu. Marilah kita melihat ini dengan lebih jeli dan ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin membina rumah tangga. Misalnya, pelajarilah lebih dahulu latar belakang keluarga masing-masing. Jika di dalam keluarga masing-masing pernah ada bentuk-bentuk kekerasan, diskusikanlah dengan (calon) pasangan Anda dengan penuh kebijaksanaan, hati yang terbuka dan tanpa ada maksud untuk mengungkit keburukan keluarga. Jangan anggap enteng hal ini. Semua hanya demi ketentraman dan kebahagiaan hidup kita untuk saat ini dan selamanya.

Setelah mendiskusikannya, ajaklah (calon) pasangan  dan anggota keluarga lainnya untuk merenungkannya bersama sekaligus bersepakat dan membuka ruang yang seluas-luasnya untuk MEMUTUS ‘MATA RANTAI’ KEKERASAN ITU SELAMANYA dari kehidupan Anda dan siapa pun yang ingin merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup tanpa kekerasan seperti kita. Yakinlah bahwa meskipun pengalaman-pengalaman yang mungkin telah Anda alami pernah ‘membekas’ di ingatan dan di hati yang terdalam, namun jika ada tekad yang kuat untuk memutus ‘mata rantai’ kekerasan itu, maka kebahagiaan dan ketentraman hidup bisa diwujudkan dalam kehidupan kita. Semoga.* (WONN)                                               

Comments

Popular posts from this blog

The Importance of Reading: Japanese Reading Habits

Saat-Saat Tertawa Bersama Ayah