Sketsa Cinta Seorang Perempuan (Cerpen)
“Kau yakin akan ikut denganku?” tanya seorang pria di pagi buta itu.
“Ya
Bang, aku ikut denganmu!” jawab seorang perempuan dengan tak ragu.
“Kau
tak takut orang tuamu marah?”
“Aku
akan mempertahankan cintaku, Bang!”
“Tapi...cinta
kita tak direstui...” jawab sang pria agak terbata. Pandangannya lurus menatap
kekasih hatinya.
“Apa
boleh buat, Bang. Aku lebih memilih Abang daripada harus merana. Aku tak tahan
Bang bila harus berpisah denganmu...” balas sang perempuan yang pipinya telah
terbasahi oleh bulir-bulir airmata. Hati dan pikirannya sangat kalut. Namun ia
telah membulatkan hatinya untuk mengikuti kekasihnya itu untuk kawin lari.
“Apa
kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu?” selidik sang pria lagi namun sangat tegas
kali ini. Biar bagaimana pun juga ia sangat mencintai kekasih hatinya ini.
Sebelum sempat sang gadis menjawab, si pria berkata lagi, “Siapkan baju dan
barangmu seadanya. Kita berangkat ke Jakarta nanti malam.”
***
“Ibu
memutuskan untuk bercerai, Mbak...”
Kutatap
wajah perempuan setengah baya di depanku. Wajah yang mungkin terlihat sedih
namun sebenarnya kesedihan itu sendiri telah tak nampak lagi karena
guratan-guratan di wajahnya telah termakan oleh pahit getirnya perjalanan
hidup. Aku terdiam. Sejenak aku teringat akan mendiang ibuku yang telah tiada. Sosoknya
mirip seperti ibuku sendiri. Bahkan mereka mempunyai kemiripan raut wajah dan
‘bau tubuh’ yang sama sebagai perempuan yang telah berusia senja. Ada rasa haru
di rongga dadaku namun masih kutatap ia lekat-lekat. Konsultasi masalah hukum
tentang perceraian yang membuatnya bersemangat datang ke kantorku siang ini
meski dengan bantuan tongkat di tangannya.
“Setelah
usia Ibu 70 tahun saat ini, akhirnya Ibu putuskan untuk bercerai dari Bapak,”
lanjutnya lagi dengan sorot mata yang belum bisa aku
tangkap maknanya. “Ibu sudah tua sekarang. Ibu pikir
anak-anak Ibu akan mengerti jika sekarang Ibu memutuskan cerai secara hukum dari ayah mereka. Alhamdulillah, anak-anak
sudah dewasa dan mandiri.
Ibu juga punya tabungan untuk membeli rumah dari emas-emas yang berhasil Ibu
selamatkan semasa bersama Bapak dulu. Insya Allah Ibu akan segera pindah
ke rumah itu. Ibu ingin menikmati hidup tenang di masa tua Ibu ini.”
Perempuan itu berkata dengan sangat tegarnya lalu tersenyum
padaku. Aku pun tak tahu arti senyumannya kali ini. Hening sejenak. Aku tahu senyumannya
begitu tulus karena ditempah oleh keyakinannya yang kuat atas hikmah yang telah
Tuhan berikan padanya. Namun senyum itu pula yang membuatku semakin merasa
pilu. Ada rasa yang semakin bergejolak di dadaku sambil tak henti berusaha tersenyum
padanya ketika mengetahui bahwa ia membaktikan dirinya selama bertahun-tahun
untuk mengajari anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya membaca al-Quran. Aku
mencoba mendengarkan semua tuturan dan limpahan curahan hatinya namun tak ada
kesedihan, apalagi linangan airmata di sana. Lalu terurailah kisah kehidupannya
yang mengalir dari bibirnya yang sedikit bergetar. Tak ada sedikit pun penyesalan
di kisahnya.
***
“Dari mana, Bang? Belakangan ini Abang sering tidak pulang.”
“Aku
mau kawin lagi”.
“Ada
apa, Bang? Istighfar Bang...”
“Ya
aku mau kawin lagi. Aku mau pindah nanti malam. Kalau kamu mau cerai bilang
saja, nanti diurus secepatnya.”
“Tapi
ada apa, Bang? Kita punya lima orang anak dan aku tidak bekerja.”
Laki-laki
itu membuka lemari pakaian dan mulai mengemas baju-bajunya. Tak ada sedikit pun
rasa bersalah di raut wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia segera mengangkat
kopernya dan keluar dari rumah begitu saja.
Perempuan
itu terisak sejadi-jadinya. Jadi inikah jawaban dari kekurangjelasan sikap suaminya
selama satu tahun terakhir ini? Ia masih mengingat dengan jelas semuanya. Saat
itu ia baru saja melahirkan anak kelima mereka. Dan sejak saat itu suaminya selalu
izin ke luar daerah sampai berhari-hari tak pulang. Sikapnya pun sudah tidak
seperti dulu lagi. Suaminya menjadi sangat cuek dengannya dan terkadang bisa
sangat kasar. Ya, sudah jelas sekarang. Suaminya telah berpaling darinya dan
menemukan tambatan hati yang lain. Tapi bagaimana dengan nasib anak-anak jika
orang tua mereka berpisah? Apalagi anak-anaknya masih kecil.
Ada
rasa sakit yang sangat, bergejolak di batinnya. Sudah seminggu suaminya pergi.
Tak ada kabar. Suaminya hanya mengirimkan uang untuk sebulan yang disampaikan
oleh orang suruhan.
“Bagaimana,
sudah kau putuskan semuanya?” Suara berat suaminya akhirnya pada suatu pagi
yang tidak terduga di ujung telpon.
“Memutuskan
apa, Bang?”
“Perceraian
kita.” Suara suaminya sedikit menggelegar seperti tidak sabar.
“Tapi
untuk apa, Bang?”
“Apa
kau pura-pura tidak tahu? Aku sudah tidak mencintaimu!” Lalu keheningan tercipta,
tidak lama. “Aku akan mengirimkan uang bulanan untukmu dan anak-anak. “ Lalu
telepon ditutup.
Berbulan-bulan
berlalu. Perempuan itu memutuskan untuk melanjutkan rumah tangganya yang sudah
berantakan itu demi anak-anak. Apa jadinya nasib anak-anaknya jika ia ambruk
sekarang? Ia juga tak bisa pulang kampung. Ia malu pada orang tua dan
orang-orang kampung yang dulu ia tinggalkan begitu saja. Meskipun ia tidak bisa
membuktikan bahwa rumah tangga yang dibangunnya bersama laki-laki yang dicintainya
kuat dan kokoh, namun setidaknya ia masih punya sedikit kekuatan untuk membesarkan
anak-anaknya sendiri di kota Jakarta yang begitu keras. Apalagi kini ia seperti
sudah tidak mengenali laki-laki yang sangat dicintainya itu. Suaminya terus
merongrongnya untuk memintanya bercerai. Rumah tangga yang dibangunnya dari nol
kini harus carut-marut setelah mereka diberi kelimpahan harta. Hingga pada
suatu hari suaminya kembali menelponnya.
“Kalian
akan aku pindahkan ke rumah kontrakan. Rumah itu akan aku jual secepatnya”.
“Tapi
Bang, tolong jangan, Bang. Kasian anak-anak kalau harus pindah. Ini sudah menjadi
rumah mereka. Ini hak mereka dari ayah mereka.”
“Tidak
ada pilihan lain. Rumah sudah terjual. Kalian harus berkemas secepatnya. Dan
satu lagi, uang bulanan yang sebelumnya lima juta akan aku kurangi mungkin
hanya satu setengah juta yang bisa aku berikan per bulannya. Sedangkan uang
sekolah anak-anak akan langsung aku bayarkan ke sekolah, begitu pula uang saku mereka
akan langsung aku berikan kepada mereka.”
“Astaghfirullah, ya Allah...”
Perempuan itu jatuh tersungkur. Tetesan airmata bergulir satu-satu di pipinya.
Ia harus menerima bahwa minggu berikutnya mereka sudah hidup di rumah kontrakan
pilihan suaminya. Ia dan kelima anaknya. Ia tidak tahu apa yang dirasakan oleh
anak-anaknya atas kemelut keluarga mereka. Yang ia tahu bahwa ia hanya sangat
mencintai kelima anak-anaknya itu dan bertekad untuk membuat hidup mereka hanya
akan merasakan kebahagiaan bersamanya.*
***
Jakarta, 22 Juni 2010
Cerpen oleh: Ms. Ningrum
Comments
Post a Comment