Karena Setiap Anak Adalah Spesial


Tuhan mengisyaratkan bahwa setiap anak yang terlahir adalah dalam keadaan “fitrah” (suci). Tapi memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa selain faktor genetik dan nutrisi, lingkunganlah (keluarga, sekolah, masyarakat) yang lebih banyak berperan dalam pembentukan kecerdasan dan karakter anak. Kita percaya bahwa Tuhan telah menciptakan setiap makhluk-Nya dalam keadaan sempurna dan proporsional. Jadi sebenarnya adanya istilah “anak pintar”, “anak cerdas”, “anak bodoh”, atau istilah “anak idiot” adalah hanya pelabelan yang kita berikan pada anak-anak kita. Bahkan, anak yang terlahir cacat sekali pun di mata Tuhan dia adalah manusia yang sempurna karena Dia Maha Pencipta dan Dia Maha Tahu tujuan dari setiap penciptaan. Mungkin dengan kecacatannya itu sang anak akan menjadi seorang yang lebih taat beribadah kepada Tuhannya atau menjadi hamba-Nya yang lebih bersyukur dan bersabar dalam hidup ini? Jadi perlu dipahami bahwa setiap anak yang terlahir di dunia ini adalah spesial. Setiap anak adalah istimewa. Setiap anak adalah unik. Bahkan setiap anak adalah jenius (dalam cara yang berbeda).

Kita mungkin mengenal seorang yang bernama Steve Jobs (1955 - 2011). Ia adalah tokoh yang dipandang dan disebut-sebut sebagai seorang jenius dan pemimpin berkarisma, terlebih lagi ia adalah pendiri Apple Inc. Dengan berbagai produk visionarisnya, ia membawa peradaban teknologi komputer dan perangkat gadget menjadi suatu kemajuan terbesar di abad ini. Namun apakah Steve Jobs merupakan seorang yang jenius menurut persepsi di masyarakat kita selama ini? Menurut seorang ahli biografi, ternyata Steve Jobs tidak memiliki tingkat kejeniusan yang dapat dikatakan luar biasa; ia hanya dikategorikan memiliki kepintaran rata-rata. Steve Jobs pun pernah drop out dari sekolahnya. Tapi di sinilah bentuk kejeniusannya: ia memanfaatkan kepintaran intrapersonalnya yang membuatnya menjadi seorang jenius!

Dari gambaran di atas, selayaknya orangtua dan juga tenaga pendidik/guru harus lebih peka mengenali potensi atau bakat yang dimiliki anak sejak dini. Ukuran kecerdasan seseorang tidak lagi bergantung pada seberapa tinggi nilai IQ-nya karena yang kita tahu, IQ hanya menyumbangkan salah satu faktor saja bagi seseorang untuk bisa berhasil dalam hidup. Nah, ada yang disebut “Multiple Intelligences” (Kecerdasan ganda) karena sesungguhnya "tidak ada individu yang bodoh atau pintar. Yang ada individu yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan" (Howard Gardner).

Multiple Intelligences yang mencakup sembilan kecerdasan, yakni: kecerdasan verbal/linguistik, logika-matematika, visual-spasial, kinestetik/gerak tubuh, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial/intuisi, pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), serta kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu distimulans pada diri anak sejak usia dini oleh orangtua dan tenaga pendidik/guru; mulai dari saat lahir atau mulai dari memasuki usia sekolah (6 – 8 tahun) hingga kecerdasan anak benar-benar sudah teridentifikasi dan terasah.

Sekarang pertanyaannya adalah mampukah dan bersediakah setiap insan yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah pola pengajaran “tradisional” yang selama ini hanya menekankan kemampuan logika (matematika) dan bahasa pada anak didik? Bersediakah segenap orangtua dan tenaga kependidikan bekerjasama dan bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada anak didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di lingkungan lembaga pendidikan sehingga potensi anak yang sesungguhnya bisa ditemukan dan dikembangkan secara optimal?* (WONN)
                  

Baca juga:



Comments

Popular posts from this blog

The Importance of Reading: Japanese Reading Habits

Saat-Saat Tertawa Bersama Ayah